Selamat Hari Ayah!

Tulisan ini seharusnya saya posting pada hari Sabtu, tanggal 12 November kemarin, tepatnya pada peringatan Hari Ayah nasional kemarin. Tetapi karena satu-dua hal halangan maka dari itu saya baru bisa mempostingnya sekarang. 

Entah mengapa, saya sangat senang ketika membicarakan topik tentang Ayah, apalagi disuruh bercerita. Bisa-bisa saya menghabiskan berjam-jam hanya untuk memperkenalkan Ayah saya, kemudian berhari-hari untuk menceritakan segala hal tentang Beliau. Dimulai dari apa yang Beliau senangi, sampai tidak senang. Dilanjutkan dengan sifat-sifat yang menjadi panutan bagi kami (Saya, Adik saya, dan Mama saya). Kemudian bagaimana cara Beliau mendidik kami dengan cara yang begitu sederhana. Lagi, tutur kata yang selalu Beliau ajarkan, juga sopan santun yang harus dijunjung tinggi. Nggak ketinggalan, segala hal yang berbau pendidikan agama. Itu salah satu hal yang ditekankan banget oleh Beliau. 

Mungkin isi dari tulisan ini sembilanpuluh persen hanya berisi curahan saya tentang Ayah saya, tentang segala hal yang sudah saya sebutkan di atas. Tentang semuanya yang ingin saya ungkapkan. Maka dari itu, sebelumnya saya ingin mengucapkan terimakasih kepada kalian yang dengan senang hati ingin membaca tulisan sampah ini. 

Beliau bukan berasal dari keluarga hebat, bukan dilahirkan dari rahim Ibu yang Maha Ada. Bukan dibesarkan di tengah-tengah keluarga serba segalanya. Nggak seperti teman-temannya yang lain. Kalau diminta ceritakan kehidupan remajanya dulu, Beliau selalu mengelak. "Yang kayak gitu ga usah diungkit-ungkit, semuanya buat pelajaran aja." Katanya suatu hari. Saya semakin penasaran, bagaimana kehidupan remaja sosok yang sangat saya kagumi sekarang, lantas saya beranikan diri untuk menanyakannya kepada Nenek saya. Kemudian saya tidak habis pikir setelah diceritakan bagian bagian terpenting masa remajanya . Dulu Beliau sangat bandel, wajar lelaki. Dulu Beliau suka cabut sekolah, wajar, siapa sih yang suka sekolah? Dulu Beliau senang dengan dunia gelap, wajar, belum dikasih penerangan sama yang di atas. 

Setiap Ayah memang mempunyai sisi buruk pada masa lalunya, tinggal bagaimana cara Beliau menjadikan masa lalu buruk itu menjadi sebuah pelajaran berharga yang nggak boleh terulang kepada dirinya sendiri, juga kepada anak-anaknya. 

Sudah sok menjadi orang paling bijaksana, ya? 

Terlewat masa remajanya, Beliau banting tulang menjadi tulang punggung keluarga. Membiayai sekolah Adik-adiknya, juga kehidupan orangtuanya.   

Beliau tumbuh menjadi laki-laki tangguh yang berani turun ke lapangan dan berperang, bukan mengumpat dibalik nama orangtua. Bagaimana bisa saya tidak mengidolakan sosoknya? 

Sampai saya hadir di dunia, tahun 2000. Dua tahun setelah kejadian sembilanlapan. Emang sih, Beliau nggak merawat dan membesarkan saya secara langsung, melainkan hanya menanyakan bagaimana kabar saya kepada Mama saya, dan apa saja kebutuhan yang dibutuhkan pada saat itu. Tetapi tetap saja, Saya bangga kepada Ayah saya. 

Setiap anak pasti bangga kepada Ayahnya masing-masing. Mau diliat dari segi baik yang mana, semua anak pasti bangga telah memiliki sosok Ayah seperti itu. 

Saya nggak bilang bahwa Ayah saya adalah yang terbaik, karena baik itu relatif, tergantung siapa yang mendapat efek baiknya itu. Menurut saya Beliau baik sekali, tetapi menurut orang lain mungkin biasa saja? Saya kan nggak tau. 

Sekarang jam 7.02, saya menulis ini ditemani Beliau. Beliau sudah pulang kerja, tumben sekali. "Lagi nggak ribet," ucapnya setelah saya tanyakan.

Saya lanjutkan. Ayah saya mengajarkan kepada kami nggak boleh sombong, sama seperti Ayah yang lain. Nggak boleh "belagu", sama seperti Ayah yang lain. Tetapi yang membedakan, Ayah saya mengajarkannya dengan memperlihatkan praktek nyata. 

Kemudian ada kata-kata Beliau yang saya ingat. "Jangan lupa Sholat," ucapnya pada suatu hari ketika sedang membicarakan impian. Saya senang ketika Beliau memancing saya dengan pertanyaan segudang jawaban, "kamu mau jadi apa?" Lalu mulut saya membicarakan segalanya yang telah menjadi impian saya. Beliau mengetes, apa impian itu masih sama seperti dulu atau sudah berubah. Beliau menanyakan bagaimana caranya untuk mencapai hal itu dan saya menjabarkannya dengan detail, kemudian dibalasnya hanya dengan anggukan dan tersenyum. Semoga, katanya. 

Sudah pukul tujuh lewat duapuluh menit. Saya memutuskan mengakhiri cerita Ayah saya sampai di sini. Sebenarnya masih banyak sekali yang ingin saya ceritakan. Tetapi takutnya malas untuk dibaca. Dan terimakasih sekali lagi untuk kalian yang merelakan lima menitnya untuk membaca postingan sampah ini.

Sekali lagi, Selamat Hari Ayah, untuk Ayah saya. Dan untuk Ayah-Ayah hebat di luar sana. 


Salam, 
Dikna Caesarean 

Comments

Popular posts from this blog

Tulisan sedih

Tulisan pengantar tidur.

(Bukan) Puisi